
Rencana Reaktivasi: Harapan atau Angan?
Dalam beberapa tahun terakhir, isu reaktivasi jalur kereta api Madura kembali mencuat. Pemerintah pusat, lewat Kementerian Perhubungan, sempat melakukan kajian terkait kemungkinan menghidupkan kembali rute Kamal–Kalianget. Alasannya cukup kuat: kebutuhan transportasi massal di Madura meningkat seiring pertumbuhan populasi dan mobilitas ekonomi.
Studi awal menunjukkan bahwa reaktivasi ini secara teknis memungkinkan, meski memerlukan investasi besar dan negosiasi ulang atas lahan yang kini telah berubah fungsi. Rute lama MSM bisa digunakan kembali sebagian, namun sebagian lainnya harus dibangun ulang dari nol. Tantangan logistik dan birokrasi menjadi hambatan utama.
Pemerintah daerah Madura menyambut positif wacana ini. Mereka percaya bahwa kebangkitan kereta api bisa membantu mengurai kemacetan, menumbuhkan pariwisata sejarah, serta membuka lapangan kerja baru. Tidak sedikit pula warga yang merasa bangga jika kereta api kembali melintasi kampung halaman mereka.
Namun, di sisi lain, skeptisisme muncul. Banyak pihak meragukan keseriusan proyek ini, mengingat minimnya realisasi dari rencana serupa di tempat lain. Belum lagi konflik lahan, kurangnya studi sosial-ekonomi mendalam, dan anggaran negara yang terbatas membuat proyek ini rawan mangkrak. Apakah ini sekadar wacana politis atau benar-benar rencana konkret, masih harus dibuktikan di lapangan.
Pelajaran dari Sejarah Kereta Api Madura
Dari kisah panjang sejarah kereta api Madura, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Pertama, pentingnya pembangunan infrastruktur berbasis kebutuhan lokal dan dukungan masyarakat. MSM sukses karena ia menjawab kebutuhan nyata masyarakat Madura saat itu: konektivitas dan efisiensi ekonomi.
Kedua, kita belajar bahwa setiap teknologi, sekuat apapun, akan kalah oleh perubahan zaman jika tidak diadaptasi. MSM kalah oleh bus dan mobil pribadi karena tak mampu menyesuaikan diri. Inilah pelajaran bagi pengelolaan transportasi masa kini: fleksibilitas dan inovasi adalah kunci keberlanjutan.
Ketiga, pelestarian sejarah bukan tugas akademisi semata, melainkan tanggung jawab kolektif. Jika warisan seperti MSM tidak diarsipkan dan dijaga, maka akan hilang ditelan waktu. Kita butuh lebih banyak museum transportasi, situs sejarah, dan literasi publik agar generasi berikutnya bisa belajar dari masa lalu.
Akhirnya, sejarah kereta api Madura adalah cerita tentang harapan, kerja keras, dan perubahan. Ini bukan hanya tentang rel dan lokomotif, tapi tentang manusia, komunitas, dan bagaimana mereka bergerak bersama dalam sejarah.
Jejak Fisik yang Masih Tersisa: Saksi Bisu Masa Lalu
Meskipun banyak infrastruktur jalur kereta api Madura yang telah musnah, beberapa peninggalan fisiknya masih dapat ditemukan jika Anda cukup jeli menelusurinya. Di Bangkalan, misalnya, bangunan bekas stasiun kereta api Madura masih berdiri, meski sudah berubah fungsi menjadi gudang. Ornamen arsitektur kolonialnya masih bisa dikenali—jendela lengkung, batu bata merah, dan tiang-tiang besi yang khas era Hindia Belanda.
Di beberapa lokasi lain, bekas jembatan kereta api yang melintasi sungai kecil atau rawa-rawa masih berdiri tegak. Beberapa jembatan ini kini dijadikan jembatan pejalan kaki oleh warga sekitar. Bahkan ada lintasan rel pendek yang digunakan sebagai pijakan atau dekorasi rumah. Ini adalah peninggalan sejarah yang tersembunyi di tengah keseharian masyarakat, menjadi semacam “harta karun” bagi penelusur sejarah.
Selain itu, di desa-desa yang dulu dilalui kereta, masih ada warga lanjut usia yang bisa menceritakan detil rute, suara peluit lokomotif, dan kehidupan sosial di sekitar stasiun. Oral history seperti ini sangat berharga karena tidak tercatat di buku, namun memberi warna emosional pada sejarah kereta api Madura yang resmi.
Sayangnya, belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk mendokumentasikan atau memugar situs-situs ini. Banyak bangunan tua dibiarkan lapuk, bahkan dihancurkan untuk pembangunan baru. Jika ini terus dibiarkan, maka generasi mendatang mungkin hanya bisa membaca tentang MSM dari teks, tanpa bisa menyentuh fisiknya.
Upaya pelestarian memerlukan sinergi antara pemerintah, komunitas sejarah, dan warga lokal. Jika berhasil, sisa-sisa jejak fisik ini bisa dijadikan museum terbuka atau jalur wisata sejarah, yang sekaligus mendongkrak pariwisata dan ekonomi Madura.