Deli Spoorweg Maatschappij: Sejarah, Peran, dan Warisan Jalur Kereta Legendaris di Sumatera

by -37 Views

Pernah dengar tentang Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)? Mungkin bagi sebagian orang, nama ini terdengar asing. Namun di balik namanya yang klasik khas Belanda, tersimpan sejarah panjang dan peran besar dalam membentuk wajah transportasi dan ekonomi di wilayah Sumatera Timur. DSM adalah salah satu perusahaan kereta api swasta tertua di Hindia Belanda, yang menjadi tulang punggung pengangkutan hasil perkebunan, terutama tembakau, dari pedalaman ke pelabuhan. Artikel ini akan membawa Anda menyusuri jejak sejarah, peran penting, dan dampak besar DSM terhadap perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Mari kita gali lebih dalam!

Awal Mula Kolonialisasi Belanda di Sumatera Timur

Sejarah DSM tak bisa dilepaskan dari proses kolonialisasi Belanda di Sumatera Timur. Pada pertengahan abad ke-19, Belanda mulai menaruh perhatian pada potensi agraria di wilayah ini, terutama setelah ditemukannya kesuburan tanah Deli yang luar biasa untuk pertanian tembakau. Kesultanan Deli yang kala itu masih berdaulat secara lokal mulai menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Dalam proses ini, lahirlah Deli Maatschappij yang menjadi pelopor perkebunan tembakau kelas dunia.

Namun, meskipun tanah subur dan hasil panen melimpah, transportasi menjadi hambatan utama. Jalan-jalan darat masih terbatas, berlumpur, dan tak efisien. Belanda pun sadar, agar hasil tembakau dan komoditas lainnya bisa sampai ke pelabuhan dengan cepat dan aman, dibutuhkan moda transportasi yang lebih canggih dan stabil. Inilah awal pemikiran untuk membangun jalur kereta api di Deli.

Kebutuhan Transportasi untuk Komoditas Perkebunan

Tembakau Deli adalah salah satu komoditas unggulan Hindia Belanda. Daun tembakau Deli memiliki kualitas tinggi, bahkan diekspor hingga ke Eropa dan Amerika untuk industri cerutu. Karena nilai ekonominya yang besar, diperlukan sistem distribusi cepat dan efisien agar kualitas tembakau tetap terjaga saat sampai di pasar internasional. Inilah yang mendorong keinginan untuk membangun jalur rel yang bisa langsung menghubungkan daerah perkebunan ke pelabuhan laut.

Selain tembakau, perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh juga mulai bermunculan. Keberadaan jalur kereta menjadi solusi ideal untuk mobilisasi massal barang hasil perkebunan. Dari sinilah terlihat bahwa pendirian jalur kereta bukan hanya sekadar alat angkut, tetapi strategi ekonomi jangka panjang yang disiapkan dengan matang.

Peran Deli Maatschappij dalam Pendirian Deli Spoorweg

Deli Maatschappij, sebagai salah satu perusahaan perkebunan terbesar saat itu, memiliki peran vital dalam pendirian DSM. Mereka menyadari bahwa ketergantungan pada transportasi manual akan menghambat ekspansi dan pengiriman produk. Maka, pada tahun 1883, dengan dukungan modal dari para pemilik saham dan investor Belanda, berdirilah Deli Spoorweg Maatschappij sebagai perusahaan swasta yang mengelola pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api di Sumatera Timur.

Keterlibatan Deli Maatschappij juga menjamin bahwa jalur-jalur rel yang dibangun akan terintegrasi langsung dengan perkebunan mereka. Jadi, bukan hanya urusan transportasi, tetapi DSM menjadi bagian dari strategi logistik industri perkebunan kolonial.

Tanggal Pendirian dan Tujuan Awal

DSM secara resmi didirikan pada tanggal 1 April 1883. Pendirian ini tidak dilakukan sembarangan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan ini untuk membangun dan mengoperasikan jaringan kereta api di daerah Deli. Tujuan utamanya adalah mendukung transportasi hasil-hasil pertanian dan perkebunan dari pedalaman ke pelabuhan laut, terutama pelabuhan di Belawan.

Pada awalnya, DSM hanya memiliki target sederhana: membangun jalur rel dari Medan ke Labuhan sejauh 16 kilometer. Tapi seiring dengan keberhasilannya, rute ini terus diperpanjang hingga ke daerah-daerah penting lainnya.

Rute Pertama: Medan ke Labuhan

Rute pertama Medan–Labuhan yang diresmikan pada tahun 1886 adalah tonggak awal sejarah perkeretaapian swasta di Sumatera. Jalur ini menghubungkan pusat kota Medan, yang saat itu mulai tumbuh sebagai kota administratif dan perkebunan, dengan pelabuhan Labuhan Deli. Di sanalah seluruh hasil perkebunan dikumpulkan untuk kemudian dikirim ke luar negeri.

Medan yang dulu hanyalah perkampungan kecil berubah drastis menjadi kota strategis dengan kehadiran stasiun dan jalur kereta api. Stasiun Medan menjadi pusat logistik penting dan bertransformasi menjadi hub transportasi modern kala itu.

Dampak Ekonomi Terhadap Daerah Sekitar

Kehadiran rute kereta api ini membuat perekonomian lokal berkembang pesat. Petani, buruh, dan pedagang lokal mendapat akses lebih mudah untuk menjual hasil pertanian ke pasar yang lebih besar. Selain itu, tercipta lapangan kerja baru, baik dalam pembangunan jalur rel maupun operasional harian kereta api.

Infrastruktur kota juga berkembang pesat. Jalan-jalan diperlebar, fasilitas umum dibangun, dan kawasan hunian pun bermunculan di sepanjang jalur kereta. Aktivitas ekonomi menjadi lebih hidup, dan kota-kota kecil mulai bermunculan sebagai pusat distribusi dan perdagangan. Semua ini berkat satu perubahan besar—kehadiran rel kereta dari DSM.

Ekspansi Menuju Binjai, Tebing Tinggi, dan Langkat

Setelah sukses dengan rute Medan–Labuhan, DSM tak berhenti di situ. Mereka segera memperluas jaringan rel menuju daerah-daerah strategis lainnya. Jalur kereta pun diperpanjang ke arah barat menuju Binjai dan selanjutnya ke Tebing Tinggi serta Langkat. Jalur ini tak hanya memperkuat koneksi antar wilayah, tapi juga memperluas cakupan pengangkutan hasil-hasil perkebunan dari wilayah pedalaman ke pelabuhan.

Ekspansi ini dirancang secara strategis. Wilayah-wilayah tersebut merupakan lokasi penting bagi perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit. Jalur kereta menjadi urat nadi yang menghubungkan perkebunan-perkebunan raksasa dengan pusat distribusi dan pelabuhan. Bahkan beberapa jalur khusus dibangun hanya untuk menghubungkan pabrik-pabrik pengolahan dengan jalur utama, menjadikan efisiensi transportasi semakin tinggi.

Ekspansi ini juga menjadi momen penting dalam pembangunan infrastruktur Sumatera Timur secara keseluruhan. Desa-desa yang sebelumnya terpencil dan sulit dijangkau mulai terhubung dengan pusat kota dan pelabuhan. Jalur kereta membawa perubahan sosial yang signifikan, memunculkan kota-kota baru di sepanjang rel.

Peran Kereta Api dalam Pengangkutan Tembakau dan Karet

Tembakau Deli menjadi komoditas utama yang diandalkan DSM. Namun, sejak awal abad ke-20, karet mulai naik daun seiring meningkatnya permintaan global terhadap bahan baku ban dan produk industri lainnya. Jalur kereta DSM pun menjadi alat vital untuk mengangkut karet mentah dari pedalaman ke pelabuhan dengan efisiensi tinggi.

Kereta-kereta pengangkut barang ini biasanya terdiri dari puluhan gerbong yang bisa membawa hasil panen dalam jumlah besar hanya dalam satu kali perjalanan. Hal ini membuat biaya logistik menurun dan produktivitas perusahaan perkebunan meningkat tajam. Bahkan tak jarang, beberapa perusahaan karet menyewa jalur eksklusif untuk memastikan pengangkutan hasil panen mereka lancar setiap hari.

Kereta api DSM juga menjadi saksi bisu bagaimana ekspansi perkebunan memengaruhi alam dan masyarakat. Hutan-hutan dibuka untuk jalur rel dan ladang karet, desa-desa berubah menjadi pos distribusi, dan arus migrasi pekerja dari Jawa dan Tionghoa semakin masif.

Mendorong Urbanisasi dan Perkembangan Kota

Salah satu dampak tak langsung dari pembangunan jaringan kereta api DSM adalah tumbuhnya kota-kota baru di sepanjang jalur rel. Medan, yang awalnya hanyalah kota kecil administratif, berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan industri. Kota seperti Binjai dan Tebing Tinggi ikut mengalami pertumbuhan signifikan berkat akses mudah ke transportasi dan pasar.

Urbanisasi ini tak hanya membawa perubahan fisik pada kota, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat. Populasi meningkat, pusat ekonomi bergeser, dan terjadi interaksi budaya yang lebih intens antara masyarakat lokal dan pendatang. Perubahan ini menjadi awal mula modernisasi di wilayah Sumatera Timur.

Jalur kereta tak ubahnya seperti garis kehidupan yang mengalirkan denyut ekonomi ke berbagai daerah. Di sepanjang rel, pasar-pasar rakyat bermunculan, penginapan dan warung berdiri, serta sekolah dan rumah sakit dibangun. Semua ini merupakan efek domino dari hadirnya rel besi yang dibentangkan oleh DSM.

Kolaborasi dengan Perusahaan Perkebunan Lain

DSM tak bekerja sendiri. Dalam perjalanannya, perusahaan ini menjalin kolaborasi erat dengan berbagai perusahaan perkebunan besar lain yang beroperasi di Sumatera Timur. Sinergi ini menciptakan jaringan logistik yang efisien, di mana setiap perusahaan memiliki akses terhadap jalur kereta untuk memperlancar distribusi barang mereka.

Perusahaan-perusahaan seperti Amsterdam Rubber Company, Langkat Cultuur Maatschappij, dan beberapa perusahaan Inggris serta Belanda lainnya, menjadi mitra DSM dalam membangun sistem transportasi terpadu. Beberapa dari mereka bahkan ikut mendanai pembangunan jalur tambahan yang langsung mengarah ke kebun-kebun mereka.

Model kemitraan ini memperlihatkan bagaimana kereta api tidak hanya menjadi alat transportasi biasa, tetapi juga pilar penting dalam rantai pasok industri perkebunan. Ini juga mencerminkan dinamika ekonomi kolonial yang sangat bergantung pada infrastruktur modern seperti rel kereta.

Posisi Strategis Deli Spoorweg di Sumatera Timur

DSM memiliki posisi strategis dalam sistem transportasi Hindia Belanda, terutama di pulau Sumatera. Dibandingkan dengan jalur kereta api lain yang dikelola pemerintah kolonial seperti Staatsspoorwegen (SS), DSM mampu beroperasi dengan fleksibilitas tinggi karena statusnya sebagai perusahaan swasta.

Posisi ini membuat DSM mampu melakukan ekspansi dengan cepat sesuai kebutuhan pasar. Mereka tak perlu menunggu regulasi pemerintah, cukup dengan dukungan investor dan mitra bisnis, ekspansi jalur rel bisa langsung dilakukan. Ini membuat DSM menjadi salah satu operator paling dinamis dan progresif pada zamannya.

Lebih dari itu, jalur DSM secara tidak langsung menjadi alat kekuasaan kolonial untuk memperkuat kontrol atas daerah-daerah pedalaman. Rel-rel ini membuka akses terhadap sumber daya alam, memudahkan pergerakan pasukan dan logistik, serta memfasilitasi penetrasi budaya dan administrasi kolonial.

Sistem Manajemen dan Teknologi Kereta Api Saat Itu

DSM menerapkan sistem manajemen yang cukup modern untuk ukuran zamannya. Mereka memiliki struktur organisasi yang jelas, dengan manajemen puncak dipegang oleh orang Belanda dan teknisi lapangan yang berasal dari Eropa maupun lokal. Di balik kesuksesan mereka, ada perencanaan rute yang matang, pemeliharaan infrastruktur secara berkala, dan pelatihan intensif bagi masinis serta staf operasional.

Secara teknologi, DSM mengadopsi standar Eropa dalam pembangunan jalur dan operasional kereta. Mereka menggunakan lokomotif uap buatan Inggris dan Jerman, serta sistem sinyal dan jadwal yang ketat. Beberapa lokomotif bahkan dimodifikasi khusus untuk mampu melewati medan berat dan curam yang banyak dijumpai di Sumatera.

DSM juga menjadi pelopor dalam pengenalan teknologi transportasi massal di luar Jawa. Ini menjadikan mereka sebagai contoh sukses bagaimana investasi infrastruktur dapat mengubah wajah ekonomi dan sosial sebuah wilayah.

Infrastruktur dan Jumlah Jalur Aktif

Pada masa kejayaannya, sekitar awal abad ke-20 hingga 1930-an, DSM telah mengoperasikan jaringan rel sepanjang lebih dari 550 kilometer. Jalur ini membentang dari pelabuhan di Belawan hingga pedalaman Sumatera Timur, mencakup kota-kota penting seperti Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Pematangsiantar, hingga Rantau Prapat. Infrastruktur DSM menjadi yang paling maju di luar Jawa, menjadikannya aset transportasi vital dalam sistem kolonial Belanda.

Fasilitas-fasilitas seperti stasiun, depo lokomotif, bengkel pemeliharaan, dan menara sinyal dibangun dengan standar tinggi. Beberapa stasiun utama bahkan dirancang dengan gaya arsitektur Eropa yang megah, seperti Stasiun Medan yang menjadi landmark hingga kini. Jalur DSM terdiri dari single track (rel tunggal) yang memungkinkan dua arah dengan titik pertemuan khusus yang telah diatur secara sistematis.

Jalur DSM juga menghubungkan berbagai industri pendukung seperti pabrik pengolahan karet, tembakau, dan gula, yang tersebar di sepanjang jalur. Sistem ini tidak hanya menjamin kecepatan pengiriman barang, tetapi juga menjadi fondasi logistik perkebunan modern pada masanya.

Jumlah Penumpang dan Barang yang Diangkut

Meski awalnya dibangun untuk mengangkut hasil perkebunan, DSM juga menyediakan layanan penumpang. Kereta penumpang DSM terdiri dari kelas berbeda, mencerminkan struktur sosial kolonial—kelas satu untuk pejabat Belanda dan pengusaha, kelas dua untuk pegawai tinggi dan keturunan Tionghoa, dan kelas tiga untuk masyarakat pribumi. Setiap harinya, ribuan penumpang menggunakan layanan kereta ini untuk bepergian antar kota maupun menuju tempat kerja mereka di perkebunan.

Volume angkutan barang pun luar biasa. Ribuan ton tembakau, karet, teh, dan kelapa sawit diangkut setiap bulan melalui jaringan rel DSM. Efisiensi sistem ini membuat DSM menjadi perusahaan yang sangat menguntungkan dan dikenal hingga Eropa karena kontribusinya dalam mendukung industri kolonial Belanda.

Pencatatan yang rapi dan sistem logistik yang efisien menjadikan DSM sebagai salah satu model perusahaan transportasi yang paling efektif dalam sejarah kolonial. Sistem pelaporan dan penghitungan volume muatan sudah menggunakan teknologi administrasi modern saat itu, seperti mesin tik dan sistem ledger akuntansi manual yang rinci.

Pengaruh Terhadap Masyarakat Pribumi dan Eropa

Keberadaan DSM sangat memengaruhi kehidupan masyarakat lokal. Di satu sisi, kereta api membuka akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan pasar yang sebelumnya tak terjangkau oleh masyarakat pedesaan. Banyak masyarakat pribumi yang kemudian bekerja di DSM sebagai petugas rel, masinis, tukang reparasi, hingga petugas administrasi. Ini menciptakan lapisan baru dalam struktur sosial yang mulai mengenal pendidikan dan keterampilan teknis.

Namun di sisi lain, DSM juga memperdalam kesenjangan sosial. Layanan kelas penumpang yang diskriminatif menunjukkan stratifikasi rasial yang tajam dalam masyarakat kolonial. Orang Eropa diperlakukan lebih istimewa dibandingkan pribumi. Bahkan, pembangunan jalur rel pun sering dilakukan dengan kerja paksa atau tenaga kerja murah dari Jawa dan Tiongkok yang direkrut dalam sistem kontrak yang keras.

Pengaruh budaya Eropa juga menyebar melalui rel kereta. Bahasa Belanda digunakan dalam sistem administrasi, nama-nama kota dan stasiun pun banyak yang menggunakan ejaan Belanda. Di beberapa kota seperti Medan dan Binjai, kawasan pemukiman Belanda dibangun di sekitar jalur kereta, lengkap dengan taman, gereja, dan sekolah bergaya Barat.

Dampak Perang Dunia II dan Pendudukan Jepang

Masa kejayaan DSM mulai meredup saat Perang Dunia II meletus. Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, semua aset kolonial, termasuk DSM, diambil alih. Jalur kereta tetap digunakan, namun banyak infrastruktur rusak karena perang dan perampasan logistik untuk kepentingan militer Jepang.

Kerusakan jaringan rel, penjarahan aset, hingga turunnya kualitas layanan menyebabkan DSM mengalami penurunan signifikan. Banyak karyawan Belanda dipenjara, sementara masyarakat lokal dipaksa bekerja tanpa upah oleh militer Jepang. Masa ini menjadi salah satu fase tergelap dalam sejarah DSM.

Masa Revolusi dan Perjuangan Nasional

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, DSM berada dalam ketidakpastian. Selama masa revolusi, jalur kereta DSM sering digunakan oleh pejuang kemerdekaan untuk mobilisasi pasukan dan logistik. Beberapa jalur bahkan dihancurkan untuk mencegah penggunaannya oleh pasukan Belanda yang mencoba kembali merebut Indonesia.

Pada masa ini, pegawai lokal mengambil alih pengoperasian rel dengan segala keterbatasannya. DSM yang dulu megah dan terorganisir menjadi sistem darurat yang dikelola oleh para pejuang dan sukarelawan. Inilah awal transformasi DSM dari perusahaan kolonial menjadi milik bangsa.

Nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia

Pada tahun 1957, seiring kebijakan nasionalisasi perusahaan asing oleh pemerintah Indonesia, Deli Spoorweg Maatschappij resmi dinasionalisasi dan diintegrasikan ke dalam Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), yang kemudian menjadi PT Kereta Api Indonesia. Aset-aset DSM—jalur, stasiun, lokomotif, dan pegawainya—semua menjadi bagian dari sistem transportasi nasional.

Nasionalisasi ini menandai akhir resmi eksistensi DSM sebagai entitas perusahaan. Namun jejak sejarah dan warisan infrastrukturnya masih dapat dilihat hingga kini. Beberapa jalur DSM masih aktif dan digunakan oleh KAI, termasuk jalur Medan-Binjai dan Medan-Belawan.

Bangunan dan Stasiun yang Masih Bertahan

Meski DSM sudah lama bubar, warisannya masih sangat terasa hingga sekarang. Beberapa bangunan dan stasiun peninggalan DSM tetap berdiri kokoh dan bahkan masih digunakan hingga hari ini. Contohnya adalah Stasiun Medan, yang telah menjadi ikon arsitektur kolonial di Sumatera Utara. Bangunan ini masih mempertahankan gaya Eropa klasik, lengkap dengan ornamen besi tempa dan atap lengkung besar yang khas.

Stasiun lain seperti Binjai, Tebing Tinggi, dan Pematangsiantar juga masih aktif melayani penumpang, meskipun telah mengalami berbagai renovasi. Banyak dari rel-rel besi yang ditanam DSM masih digunakan oleh PT KAI, terutama untuk rute komuter dan pengangkutan barang.

Selain stasiun, beberapa jembatan besi, rumah sinyal, dan bekas kantor DSM juga masih bisa ditemukan di beberapa titik. Ini menjadi saksi bisu dari kemajuan teknologi dan manajemen transportasi kolonial yang pernah menguasai wilayah ini.

Museum dan Dokumentasi Sejarah

Untuk menjaga warisan DSM tetap hidup, beberapa inisiatif telah dilakukan. Salah satunya adalah pengumpulan arsip, peta lama, dokumen perusahaan, serta foto-foto sejarah yang kini tersimpan di museum seperti Museum Kereta Api Ambarawa dan koleksi pribadi para sejarawan. Meski DSM tidak memiliki museum khusus, peninggalan mereka banyak dijadikan bagian dari pameran sejarah perkeretaapian di Indonesia.

Sejumlah komunitas juga aktif mendokumentasikan sejarah DSM melalui riset, publikasi, dan media sosial. Upaya ini penting karena keberadaan DSM tidak hanya menjadi bagian dari sejarah transportasi, tetapi juga merekam dinamika kolonialisme, industrialisasi, dan perlawanan lokal di masa lalu.

Digitalisasi dokumen dan publikasi daring tentang sejarah DSM semakin memperluas akses masyarakat terhadap pengetahuan ini. Banyak peneliti sejarah dan mahasiswa menggunakan DSM sebagai topik utama skripsi dan kajian akademis, menunjukkan betapa penting dan relevannya warisan ini untuk generasi sekarang.

Peran DSM dalam Sejarah Transportasi Indonesia

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa DSM adalah pelopor revolusi transportasi di luar Jawa. Dengan jaringan rel yang luas, sistem manajemen yang maju, serta kontribusi besar dalam mendukung ekonomi kolonial dan pasca-kolonial, DSM memberikan fondasi bagi pengembangan sistem perkeretaapian di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.

Mereka tidak hanya mengangkut barang dan orang, tapi juga membawa perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang signifikan. DSM menjadi jembatan antara era feodal dan era industri di wilayah timur Sumatera, serta membuka jalan bagi lahirnya kota-kota modern.

Dalam konteks sejarah nasional, DSM juga menunjukkan bagaimana infrastruktur bisa menjadi alat kekuasaan, sekaligus medium emansipasi. Dari alat eksploitasi kolonial hingga simbol kemerdekaan, jalur rel DSM telah menyusuri jalan panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.

Kesimpulan

Deli Spoorweg Maatschappij bukan sekadar perusahaan kereta api—ia adalah penanda zaman, mesin penggerak ekonomi, dan saksi bisu dari dinamika kolonialisme serta perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Didirikan oleh kepentingan ekonomi kolonial untuk mendukung ekspor tembakau dan hasil perkebunan lainnya, DSM berkembang menjadi raksasa infrastruktur yang menghubungkan kota, desa, kebun, dan pelabuhan di Sumatera Timur.

Meski akhirnya dinasionalisasi dan bubar, pengaruh DSM masih sangat nyata. Rel-rel yang mereka tanam masih menghubungkan berbagai wilayah. Bangunan mereka masih berdiri. Dan sejarah mereka masih hidup dalam cerita, foto, dan dokumen yang tersisa. Kisah DSM adalah pengingat bahwa infrastruktur bukan sekadar besi dan beton, tapi juga cerita manusia, perjuangan, dan warisan bangsa.

FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)

1. Apa itu Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)?
DSM adalah perusahaan kereta api swasta Belanda yang beroperasi di Sumatera Timur selama masa kolonial, terutama untuk mengangkut hasil perkebunan seperti tembakau dan karet.

2. Apa jalur kereta pertama yang dibangun DSM?
Jalur pertama DSM adalah Medan–Labuhan yang mulai beroperasi pada tahun 1886, menghubungkan pusat kota dengan pelabuhan utama.

3. Apa kontribusi DSM dalam perkembangan Medan?
DSM membantu menjadikan Medan sebagai kota industri dan perdagangan penting di Sumatera karena konektivitas yang diberikannya.

4. Apakah DSM masih ada saat ini?
DSM sudah dinasionalisasi pada tahun 1957 dan asetnya kini dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI).

5. Apakah peninggalan DSM masih bisa dilihat?
Ya, beberapa stasiun seperti Stasiun Medan, jalur kereta aktif, dan bangunan kolonial lainnya masih menjadi bukti nyata eksistensi DSM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

No More Posts Available.

No more pages to load.